Doa kami untukmu sahabat
Mari Bergandengan Tangan (Kembali)
Dari: ratna wulandari
Lihat Kontak
Kepada: dian.wulandari@yahoo.com; pejuangsejati_02@yahoo.com; primasti83@yahoo.com; Elaine Violche
Cc: Catur Ratna Wulandari
________________________________________
Dear my ladies...
Sudah berapa lama kita tak saling jumpa?
Melewatkan hari pernikahan kalian, melewatkan hari kelahiran putra-putri kalian, atau bahkan tidak lagi mengucapkan selamat ulang tahun... seringkali membuatku merasa menjadi sahabat yang buruk. Tapi aku selalu menghibur diri dengan, “Kalian pasti mengerti”. Oh... sahabat macam apa aku ini. Maafkan aku...
Suatu hari, sekitar Februari lalu, aku SMS Puput, “Aku mau lihat perutmu yang ada dedeknya! Aku mau liat kamu kalo hamil kaya apa.” Kira-kira begitu bunyi SMS ku untuk sahabat kita yang saat itu sedang hamil memasuki bulan ke-8.
Kami masih sering berkirim kabar meskipun hanya lewat SMS, Facebook atau Twitter. Saya tahu, ia mengalami masa kehamilan yang berat. Makanya dia memutuskan pulang ke Balikpapan begitu masuk bulan ke-8, maklum suaminya pun berada di Pontianak. Melahirkan di rumah orang tua pilihan yang terbaik saat itu.
Lalu dia mengirim sebuah foto. Puput yang selalu menggebu-gebu untuk semua hal yang dikerjakan, mengirimi sebuah foto yang membuat saya terkagum-kagum. Puput yang memang dari dulu kurus, ternyata tidak juga jadi gemuk. Tapi perutnya sungguh mengagumkan. Perutnya membesar, dan di dalamnya ada seorang bayi perempuan yang kini dinamai Malika.
Langsung aku menelponnya seketika itu. Obrolan kami begitu membahagiakan. Maklum sudah cukup lama tidak saling telepon. Lalu dia bilang akan melahirkan melalui operasi cesar. “Kenapa?,” tanyaku lancang.
“Na, bulan lalu aku kena musibah. Waktu usia kehamilanku tujuh bulan, aku divonis terkena tumor otak. Ukurannya sudah lumayan besar, makanya aku nggak bisa melahirkan normal karena akan memicu saraf di kepala. Operasi pun harus dilakukan cepat. Karena aku harus bius total tapi jangan sampai biusnya sampai kena dedeknya. Semua harus serba cepat,” lancar saja dia menceritakan itu.
Aku membisu. Mendengar tumor otak saja sudah menghentikan nafasku. Apalagi ada bayi yang juga harus dilahirkan.
Begitulah, pertama kali aku tahu apa yang terjadi pada Puput. Puput kita.
Seketika itu pula aku ingin membagi cerita ini. Supaya kita bisa menggotongnya bersama-sama. Supaya sakitnya bisa kita bagi. Atau setidaknya supaya kita bisa menemani.
Tapi semua niat saya itu terhenti karena Puput bilang, “Jangan bilang siapa-siapa dulu”.
Sekuat apapun saya ingin bercerita, saya mencoba membayangkan menjadi Puput. Tentu kabar ini bukan kabar yang membahagiakan. Dan membaginya dengan orang lain membutuhkan kesiapan dan keberanian yang cukup.
Untuk beberapa bulan saya hanya menyimpan cerita ini sendiri. Kami kembali sering berkomunikasi. Dokter menyarankan, setelah Malika lahir Puput segera menjalani operasi pengangkatan tumor. Kalau tidak, tumor itu akan semakin membesar dan mendesak jaringan di kepala. Sampai Malika lahir, kondisi Puput relatif stabil. Tapi memang sakit kepala kerap datang.
Seperti suatu pagi, saya menerima SMS dari Puput. “Aku terkena serangan sakit kepala luar biasa”.
Puput belum berani operasi. Membayangkan kepala dibedah untuk mengambil tumornya, dia belum berani. Belum lagi masa recovery pasca operasi tumor otak yang membutuhkan waktu lama. Ia tidak bisa membayangkan tidak menyusui Malika, tidak menggendongnya. Baginya, menyusui Malika adalah surga dunia.
Beberapa cara pengobatan alternatif dicoba. Dia mulai minum air rebusan daun sirsak. Tapi justru serangan hebat itu datang lagi. “Sakitnya bukan main. Rasanya mati itu pilihan yang lebih baik. Aku sampe sudah minta maaf ke mama papa, nitip Malika,” katanya.
Hatiku ikut hancur.
Tapi dia tidak putus asa. Pengobatan alternatif yang disarankan teman di Pemalang, Jawa Tengah pun didatangi. Tapi rupanya hasilnya tidak memuaskan. Tumor itu tidak kunjung mengecil. Besarnya sekarang kira-kira sebesar buah apel. Seperempat kepalanya. Letaknya di belakang mata kanan.
Suatu ketika Aida, cerita kalau dia mau ke Balikpapan untuk sebuah keperluan dan akan mampir jenguk Malika. Aku langsung nelpon Aida. Melanggar janjiku dan menceritakan semuanya ke Aida. Aku nitip mata dan telinga saat Aida mengunjungi Puput. Rupanya ketika Ai ke sana, Puput menceritakan semuanya.
Jadilah setelah itu aku dan Aida menyimpan cerita ini. Kami sangat ingin menceritakan ini kepada kalian semua. Tapi lagi-lagi kami mempertimbangkan kondisi Puput. Sejak saat itu, kami selalu bertukar informasi kalau ada perkembangan atau kabar dari Puput.
Aku sendiri merencakan untuk mengambil cuti dan bisa pergi ke Balikpapan. Belum sempat aku cuti, aku sudah dipindah ke Jakarta.
Sampai suatu hari, 20 Juli lalu, pagi-pagi dia mengirim SMS.
“Na, aku masuk RS Restu Ibu Selasa malam kemarin. Kena serangan sakit kepala banget aku ga tahan rasanya pingin dibius aja. Tapi alhamdulillah udah berkurang. Aku dan keluarga mutusin operasi Na. Dokter bilang Cuma Allah yang tau kenapa aku masih hidup dengan tumor otak sebesar ini. Aku nyimpen bom waktu katanya Insya Allah operasi minggu depan di RS Siloam Tangerang. Doain aku ya Na. Mauku sih oke lah operasi, tapi habis lebaran. Tapi kasihan keluargaku sudah khawatir banget. Aku takut Na tapi harus semangat yah.. InsyaAllah sembuh, Amin,”
Aku cuma bisa nangis. Kalau bisa terbang ke Balikpapan saat itu rasanya aku ingin ke sana. Memastikan dia bisa melewati semua ini.
Di sisi lain, ini melegakan, karena operasi di Tangerang maka aku bisa menemuinya.
Selasa (27/7) lalu, Puput sampai di Jakarta untuk memulai serangkaian pemeriksaan dan pengobatannya di RS Siloam Tangerang. Sebelum diopname, dia menginap semalam di Hotel Milenium Jakarta. Tanpa pikir panjang, kami bertemu di sana. Puput berdua dengan suaminya, Mas Dhika.
Begitu melihat Puput yang kurus itu bersandar di sofa, aku tidak kuasa ingin menangis. Tapi senyumnya tetap ceria. Semangatnya masih menyala. Maka air mataku kutunda sementara.
Kami ngobrol panjang lebar. Tidak melulu membicarakan tumornya. Kami bercanda. Tertawa lepas. “Kamu ko masih bisa tertawa gini?”
Puput malah ketawa. Puput kita itu tetap orang yang kuat. Seperti dulu. Sekuat dia menghadapi dua kali kekalahannya di pemilihan Kahima. Oh tidak! Itu sungguh tidak ada apa-apanya. DIA SANGAT KUAT!
Selain Allah yang Maha Segalanya, aku yakin suaminya yang setia dan buah hatinya adalah sumber kekuatannya. Bahan bakar yang membuatnya tetap bisa menjalani hidup. Menempuh jarak yang jauh untuk mengusahakan kesembuhan.
Sekarang, Puput sedang menunggu hasi l pemeriksaan dan penjadwalan operasi di RS Siloam Tangerang.
Aku minta maaf karena baru bisa cerita sekarang. Semata-mata menjaga pesan Puput. Tapi sekarang sepertinya Puput sudah lebih siap menceritakan keadaannya pada orang lain. Dan yang terpenting, dia sedang membutuhkanbanyak doa dari kita semua, sahabat-sahabatnya.
Maka, mari meluangkan doa-doa kita untuk kesembuhan Puput. Di tengah kesibukan, waktu dan posisi kita yang sudah berjauh-jauhan, sangat dimaklumi kalau secara fisik tidak bisa menemani Puput. Tapi doa kita bisa menerobos semua keterbatasan itu.
Aku paham benar, aku tidak bisa menebus ketidakhadiranku di hari pernikahannya, di hari ulang tahunnya, atau di hari kelahiran anaknya. Tapi semoga, aku dan kita semua, bisa menyuntikkan energi untuk Puput. Melalui doa-doa kita.
Sebenarnya sungguh tidak enak jika silaturahmi ini tersambung kembali karena kabar yang kurang menggembirakan. Tapi barangkali inilah hikmahnya. Mari kita sama-sama bahu-membahu memberikan apapun yang bisa kita lakukan untuk Puput.
Peluk sayang penuh rindu,
Nana
(081803879301)
Nitip pesan: Harap berhati-hati menyampaikan kabar ini ke teman-teman yang lain. Sebab Puput tentu butuh waktu istirahat dan tidak disibukkan dengan pertanyaan, “Puput kamu kenapa?”