• aida: Kenangan yang terperangkap di sepeda tua

    Minggu, 24 Juli 2011

    Kenangan yang terperangkap di sepeda tua

    Aku mengenalnya sebagai seorang Indonesia, bukan Belanda, Perancis atau Jepang. Orang-orang memang pasti akan selalu bertanya-tanya tentang identitasnya. Wajahnya tidak sedikit pun sama dengan kebanyakan orang Indonesia, wajahnya lebih kental dengan wajah orang-orang eropa. Tidak mengherankan jika dia selalu mencuri perhatian orang-orang yang baru pertama mengenalnya.

    Nama lelaki itu, Rangga. Tiga tempat yang sangat dia suka, perpustakaan, museum dan jalanan. Perpustakaan, tempat dia mentransformasikan kata tidak tahu menjadi tahu. Museum, tempat dia berkhayal akan sebuah peristiwa dan jalanan, tempat dia melihat berbagai peran berbagai macam anak manusia. Dan jalanan juga, akhirnya menjadi tempat dia menjadi manusia seutuhnya.

    Aku tidak pernah mengerti sudah sejak kapan aku mulai tertarik kepadanya. Aku tidak pernah tahu alasan kenapa aku bisa begitu peduli dengan keadaannya sekarang. Aku tidak mengerti mengapa hampir setiap malam, ketika langit siang digantikan dengan langit petang di atas rumahku. Aku akan selalu menunggunya pulang, memastikan dia pulang dengan keadaan yang benar-benar baik, tidak terluka sedikit pun.

    Aku tahu bagaimana kerasnya jalanan. Aku tahu banyak orang yang seringkali dengan sengaja melukainya. Aku khawatir dengannya, Rangga.

    Aku selalu bilang padanya, "Rangga, ini bukan Amsterdam, kota dimana kamu bisa menikmati jalanan dengan sepeda tua kesayanganmu itu, tapi ini Jakarta, sekali lagi ini Jakarta ,Rangga. Tolong pahamilah aku ketika aku sangat mengkhawatirkanmu"

    "Never mind, Dinda. Ik zal het ok. Maak je geen zorgen over mij!. Kamu sudah sangat baik dengan peduli padaku, Dinda. Tapi, aku sudah memutuskan untuk menjalani hidupku seperti ini."

    "Aku sengaja datang kesini, karena aku tahu, waktu yang kupunyai sudah tidak lama lagi. Dan, aku ingin memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya. Tidak bisakah kamu memberikanku kesempatan untuk itu? Aku mohon.

    Kamu tahu tentang kanker yang aku punyai sekarang kan? Waktuku tidak banyak lagi. Tolonglah aku."

    'Kanker', sebuah kata yang selalu membuatku sesak nafas secara tiba-tiba, dan kata itu selalu Rangga jadikan senjata ketika aku menunjukkan kekhawatiranku atas keselmatan dia dengan sepeda tuanya.

    Aku selalu tidak bisa terima jika kita terus mengulang dan mengulang perdebatan ini, aku dengan kekhawatiranku dan kamu dengan aktifitas 'surgawi'mu itu bersepeda di hutan rimba Jakarta dengan kanker yang semakin menggurita di tubuhmu.

    Ah, sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Rangga. Tidak kudengar lagi suaranya yang berat membangunkanku di pagi hari seperti layaknya hari-hari sebelum ini.

    Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Rangga? Haruskah aku ke rumahnya dan melihat keadaannya? Aku sangat khawatir.

    Aku butuh untuk tahu. Aku akan pergi mencari tahu keadaannya.

    Berbagai bayangan buruk menghantuiku selama perjalanan ke rumah Rangga, apakah ini sebuah firasat? Oh Tuhan aku belum mau mengakhiri cerita ini, aku masih ingin terus menjadi bagian dari lakonku dengan Rangga.

    Aku semakin cepat melangkahkan kakiku, semakin cepat dan cepat. Semua yang ada di sekitarku tak ku hiraukan, karena aku hanya ingin segera melihat Rangga dan Rangga.

    Aku sudah sampai di depan pintu rumahnya. Kutekan bel yang ada di hadapanku. Aku ingin segera merangsek masuk ke dalam rumah dan bertanya kepada Bundanya Rangga. Aku ingin tahu keadaannya.

    Beberapa kali kutekan bel rumah Rangga, tapi tidak ada sedikit pun jawaban yang aku terima, tidak ada seorang pun yang membukakan pintu. Aku makin khawatir.

    Setelah setengah jam berdiri di depan rumah Rangga, kurasakan ponselku bergetar.

    "Nak Dinda, Rangga sedang di rumah sakit sekarang. Bisa datang ke sini? Rangga mengigau nama kamu dari sejak tadi malam."

    Aku berusaha melanjutkan kata perkata yang aku baca dalam layar ponselku. Tanpa berpikir panjang aku langkahkan kakiku untuk bisa sampai ke halte bus.

    "Kenapa busnya lama sekali ya?" bisikku lirih sambil menggigit bibir bawahku.

    Mataku segera menangkap taksi yang riwa-riwi, dan aku melambaikan tanganku

    "RS Tombo Loro pak, gak pake lama ya pak!"

    "Iya mbak." Supir taksi yang kutumpangi mulai menyalakan mobilnya dan melaju meninggalkan halte bis.

    Sepanjang perjalanan, aku berdoa, semoga hal yang selama ini aku takut-takutkan tidak terjadi. Aku masih berharap Rangga bisa menemaniku lagi menulis seperti yang dulu sering ia lakukan bersamaku di bulan-bulan awal kepindahan dia ke Indonesia dari Amsterdam.

    Aku ingin merasakan lagi canda tawa yang selalu aku bisa dapatkan dari kehangatan pribadinya. Aku ingin bisa memeluk dia lagi seperti saat dia memberikanku payung berwarna biru di saat menjemputku di halte bis biasa dekat rumahku.

    Aku ingin membaui lagi harum parfum yang selalu dia pakai di saat dia mulai menjelajahi rimba jalanan di Jakarta dengan sepedanya.

    Begitu banyak yang aku ingin rasakan lagi. Aku tidak mau Rangga pergi. Tidak secepat ini.

    Aku tidak siap Tuhan, aku tidak siap jika harus secepat ini.

    "Bapak bisa agak cepat tidak pak?", kataku sambil menatap jalanan Jakarta yang dipadati kendaraan berasap

    "Maaf mbak, kalau macet begini, saya tidak bisa berbuat apa-apa." jawab pak sopir dengan santun

    "Lah kan Bapak bisa nyari jalan alternatif, tidak harus lewat sinikan pak". Protesku dengan ketus. Aku benar-benar lupa bahwa ini adalah Jakarta.

    "Walah mbak, kalau macet begini, semut saja tidak bisa bergerak, mbak, boro-boro jalan alternatif"

    Tuhan aku ingin meminta sayap padamu saat ini juga, sayap yang bisa membuatku terbang dengan cepat ke tempat dimana Rangga saat ini berada.

    Tapi tiba-tiba dalam lamunan dan doaku, aku melihat sekelebat benda yang menerobos diantara celah-celah jalanan

    "Apakah itu sepeda Rangga", gumamku lirih. Tapi, kutepis pikiran itu, tidak mungkin itu Rangga. Rangga sedang berada di rumah sakit sekarang, dan aku harus segera berada di sana sebelum segala sesuatunya terlambat.

    Aku belum sempat memberitahunya tentang perasaanku kepadanya. Sudah lama aku simpan rasa yang selalu membuatku merinding ini jika mengingat dia dengan kehangatannya.

    "Pak, masih jauh? Saya harus segera kesana Pak, saya takut semuanya terlambat Pak."

    "Masih mbak, sekitar setengah jam lagi dari sini mbak. Semoga saja perjalanan kesana tidak semacet biasanya mbak."

    "Tolong, ya, pak."

    "Iya mbak."

    Rumah Sakit Tombo Loro, aku membaca papan besar tidak jauh dari taksi yang kutumpangi.

    Aku ingin segera membuka pintu taksi ini dan segera berlari masuk kedalam untuk segera menemuinya. "Kembaliannya buat bapak aja, doakan semua baik-baik saja ya pak", sembari kusodorkan lembar merah seratus ribuan.

    Aku berlari dengan tergesa-gesa ke arah Rumah Sakit. Ingin kusegera pergi ke ruang tempat Rangga dirawat, sampai kurasakan ponselku bergetar lagi lebih kencang dari biasanya.

    "Nak Dinda. Rangga sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya."

    Kakiku terasa lumpuh. Air mataku turun deras tak terbendung. Aku tidak percaya dengan kabar yang kuterima.



    -
    10 Tahun telah berlalu sejak kepergian Rangga. Tapi bagiku dia tidak pergi, karena setiap pagi dia selalu menemaniku. Menemaniku dalam aktifitas 'surgawi', aktifitas yang terus membuat Rangga hidup. Hanya aku yang bisa merasakan bahwa Rangga masih hidup, karena aku melakukan apa yang selalu ia lakukan, aktivitas 'surgawi' bagi seorang Rangga. Sepeda tua miliknya menemaniku hampir kemana pun aku pergi. Aku sayang kamu, Rangga. Sungguh, dan itu tidak akan pernah berakhir, meskipun kamu sudah tidak lagi ada di dunia ini.



    Cerita kroyokan: Aida dan Teguh Puja ^^

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda