• aida: Juli 2011

    Rabu, 27 Juli 2011

    Doa kami untukmu sahabat

    Mari Bergandengan Tangan (Kembali)
    Dari: ratna wulandari
    Lihat Kontak
    Kepada: dian.wulandari@yahoo.com; pejuangsejati_02@yahoo.com; primasti83@yahoo.com; Elaine Violche ; Putri Aisyiyah
    Cc: Catur Ratna Wulandari
    ________________________________________
    Dear my ladies...
    Sudah berapa lama kita tak saling jumpa?
    Melewatkan hari pernikahan kalian, melewatkan hari kelahiran putra-putri kalian, atau bahkan tidak lagi mengucapkan selamat ulang tahun... seringkali membuatku merasa menjadi sahabat yang buruk. Tapi aku selalu menghibur diri dengan, “Kalian pasti mengerti”. Oh... sahabat macam apa aku ini. Maafkan aku...

    Suatu hari, sekitar Februari lalu, aku SMS Puput, “Aku mau lihat perutmu yang ada dedeknya! Aku mau liat kamu kalo hamil kaya apa.” Kira-kira begitu bunyi SMS ku untuk sahabat kita yang saat itu sedang hamil memasuki bulan ke-8.

    Kami masih sering berkirim kabar meskipun hanya lewat SMS, Facebook atau Twitter. Saya tahu, ia mengalami masa kehamilan yang berat. Makanya dia memutuskan pulang ke Balikpapan begitu masuk bulan ke-8, maklum suaminya pun berada di Pontianak. Melahirkan di rumah orang tua pilihan yang terbaik saat itu.

    Lalu dia mengirim sebuah foto. Puput yang selalu menggebu-gebu untuk semua hal yang dikerjakan, mengirimi sebuah foto yang membuat saya terkagum-kagum. Puput yang memang dari dulu kurus, ternyata tidak juga jadi gemuk. Tapi perutnya sungguh mengagumkan. Perutnya membesar, dan di dalamnya ada seorang bayi perempuan yang kini dinamai Malika.

    Langsung aku menelponnya seketika itu. Obrolan kami begitu membahagiakan. Maklum sudah cukup lama tidak saling telepon. Lalu dia bilang akan melahirkan melalui operasi cesar. “Kenapa?,” tanyaku lancang.

    “Na, bulan lalu aku kena musibah. Waktu usia kehamilanku tujuh bulan, aku divonis terkena tumor otak. Ukurannya sudah lumayan besar, makanya aku nggak bisa melahirkan normal karena akan memicu saraf di kepala. Operasi pun harus dilakukan cepat. Karena aku harus bius total tapi jangan sampai biusnya sampai kena dedeknya. Semua harus serba cepat,” lancar saja dia menceritakan itu.

    Aku membisu. Mendengar tumor otak saja sudah menghentikan nafasku. Apalagi ada bayi yang juga harus dilahirkan.

    Begitulah, pertama kali aku tahu apa yang terjadi pada Puput. Puput kita.

    Seketika itu pula aku ingin membagi cerita ini. Supaya kita bisa menggotongnya bersama-sama. Supaya sakitnya bisa kita bagi. Atau setidaknya supaya kita bisa menemani.

    Tapi semua niat saya itu terhenti karena Puput bilang, “Jangan bilang siapa-siapa dulu”.
    Sekuat apapun saya ingin bercerita, saya mencoba membayangkan menjadi Puput. Tentu kabar ini bukan kabar yang membahagiakan. Dan membaginya dengan orang lain membutuhkan kesiapan dan keberanian yang cukup.

    Untuk beberapa bulan saya hanya menyimpan cerita ini sendiri. Kami kembali sering berkomunikasi. Dokter menyarankan, setelah Malika lahir Puput segera menjalani operasi pengangkatan tumor. Kalau tidak, tumor itu akan semakin membesar dan mendesak jaringan di kepala. Sampai Malika lahir, kondisi Puput relatif stabil. Tapi memang sakit kepala kerap datang.

    Seperti suatu pagi, saya menerima SMS dari Puput. “Aku terkena serangan sakit kepala luar biasa”.

    Puput belum berani operasi. Membayangkan kepala dibedah untuk mengambil tumornya, dia belum berani. Belum lagi masa recovery pasca operasi tumor otak yang membutuhkan waktu lama. Ia tidak bisa membayangkan tidak menyusui Malika, tidak menggendongnya. Baginya, menyusui Malika adalah surga dunia.

    Beberapa cara pengobatan alternatif dicoba. Dia mulai minum air rebusan daun sirsak. Tapi justru serangan hebat itu datang lagi. “Sakitnya bukan main. Rasanya mati itu pilihan yang lebih baik. Aku sampe sudah minta maaf ke mama papa, nitip Malika,” katanya.
    Hatiku ikut hancur.

    Tapi dia tidak putus asa. Pengobatan alternatif yang disarankan teman di Pemalang, Jawa Tengah pun didatangi. Tapi rupanya hasilnya tidak memuaskan. Tumor itu tidak kunjung mengecil. Besarnya sekarang kira-kira sebesar buah apel. Seperempat kepalanya. Letaknya di belakang mata kanan.

    Suatu ketika Aida, cerita kalau dia mau ke Balikpapan untuk sebuah keperluan dan akan mampir jenguk Malika. Aku langsung nelpon Aida. Melanggar janjiku dan menceritakan semuanya ke Aida. Aku nitip mata dan telinga saat Aida mengunjungi Puput. Rupanya ketika Ai ke sana, Puput menceritakan semuanya.

    Jadilah setelah itu aku dan Aida menyimpan cerita ini. Kami sangat ingin menceritakan ini kepada kalian semua. Tapi lagi-lagi kami mempertimbangkan kondisi Puput. Sejak saat itu, kami selalu bertukar informasi kalau ada perkembangan atau kabar dari Puput.
    Aku sendiri merencakan untuk mengambil cuti dan bisa pergi ke Balikpapan. Belum sempat aku cuti, aku sudah dipindah ke Jakarta.

    Sampai suatu hari, 20 Juli lalu, pagi-pagi dia mengirim SMS.

    “Na, aku masuk RS Restu Ibu Selasa malam kemarin. Kena serangan sakit kepala banget aku ga tahan rasanya pingin dibius aja. Tapi alhamdulillah udah berkurang. Aku dan keluarga mutusin operasi Na. Dokter bilang Cuma Allah yang tau kenapa aku masih hidup dengan tumor otak sebesar ini. Aku nyimpen bom waktu katanya  Insya Allah operasi minggu depan di RS Siloam Tangerang. Doain aku ya Na. Mauku sih oke lah operasi, tapi habis lebaran. Tapi kasihan keluargaku sudah khawatir banget. Aku takut Na  tapi harus semangat yah.. InsyaAllah sembuh, Amin,”

    Aku cuma bisa nangis. Kalau bisa terbang ke Balikpapan saat itu rasanya aku ingin ke sana. Memastikan dia bisa melewati semua ini.

    Di sisi lain, ini melegakan, karena operasi di Tangerang maka aku bisa menemuinya.
    Selasa (27/7) lalu, Puput sampai di Jakarta untuk memulai serangkaian pemeriksaan dan pengobatannya di RS Siloam Tangerang. Sebelum diopname, dia menginap semalam di Hotel Milenium Jakarta. Tanpa pikir panjang, kami bertemu di sana. Puput berdua dengan suaminya, Mas Dhika.

    Begitu melihat Puput yang kurus itu bersandar di sofa, aku tidak kuasa ingin menangis. Tapi senyumnya tetap ceria. Semangatnya masih menyala. Maka air mataku kutunda sementara.

    Kami ngobrol panjang lebar. Tidak melulu membicarakan tumornya. Kami bercanda. Tertawa lepas. “Kamu ko masih bisa tertawa gini?”

    Puput malah ketawa. Puput kita itu tetap orang yang kuat. Seperti dulu. Sekuat dia menghadapi dua kali kekalahannya di pemilihan Kahima. Oh tidak! Itu sungguh tidak ada apa-apanya. DIA SANGAT KUAT!

    Selain Allah yang Maha Segalanya, aku yakin suaminya yang setia dan buah hatinya adalah sumber kekuatannya. Bahan bakar yang membuatnya tetap bisa menjalani hidup. Menempuh jarak yang jauh untuk mengusahakan kesembuhan.

    Sekarang, Puput sedang menunggu hasi l pemeriksaan dan penjadwalan operasi di RS Siloam Tangerang.

    Aku minta maaf karena baru bisa cerita sekarang. Semata-mata menjaga pesan Puput. Tapi sekarang sepertinya Puput sudah lebih siap menceritakan keadaannya pada orang lain. Dan yang terpenting, dia sedang membutuhkanbanyak doa dari kita semua, sahabat-sahabatnya.

    Maka, mari meluangkan doa-doa kita untuk kesembuhan Puput. Di tengah kesibukan, waktu dan posisi kita yang sudah berjauh-jauhan, sangat dimaklumi kalau secara fisik tidak bisa menemani Puput. Tapi doa kita bisa menerobos semua keterbatasan itu.

    Aku paham benar, aku tidak bisa menebus ketidakhadiranku di hari pernikahannya, di hari ulang tahunnya, atau di hari kelahiran anaknya. Tapi semoga, aku dan kita semua, bisa menyuntikkan energi untuk Puput. Melalui doa-doa kita.

    Sebenarnya sungguh tidak enak jika silaturahmi ini tersambung kembali karena kabar yang kurang menggembirakan. Tapi barangkali inilah hikmahnya. Mari kita sama-sama bahu-membahu memberikan apapun yang bisa kita lakukan untuk Puput.

    Peluk sayang penuh rindu,
    Nana
    (081803879301)

    Nitip pesan: Harap berhati-hati menyampaikan kabar ini ke teman-teman yang lain. Sebab Puput tentu butuh waktu istirahat dan tidak disibukkan dengan pertanyaan, “Puput kamu kenapa?”

    Selasa, 26 Juli 2011

    Demi

    Demi Engkau sang pengatur kehidupan
    Demi Engkau sang pengatur hati, pengendali dari segala rasa dan perasaan
    Demi Engkau sang pengatur penghidupan mata air rizki
    Demi Engkau pencipta alam rahim,tempat awal kehidupan
    Hanya karena kecintaan kami padaMu, kami mengikat Janji
    Keikhlasan dan kesabaran menjadi energi kami
    Hingga Engkau tak pernah ragu untuk menghadiahi kami kebarokahan.....

    ...........................................................................

    Untuk kami, kita dan kalian yang selalu menjaga janji suci itu..
    untuk kalian yang dengan sabar menjalani hari-hari dengan ujian
    mengesampingkan ego sebagai suami untuk melayani dan merawat istri yang sedang dirundung lara.
    untuk Ibu yang mengesampingkan lara demi dia yang terlahir dengan suka cita

    Minggu, 24 Juli 2011

    Dialog inbox

    Sebuah dialog serius telah terjadi disebuah ruang bernama inbox. Apa latar belakang dan tujuannya hingga dialog ini terjadi, saya tak perlu menuliskannya disini. Karena dari tema utama dialog ini, sedikit banyak anda akan mengetahui. Sebutlah perempuan pertama dengan nama Khadijah dan perempuan kedua dengan nama Fatimah.

    Fatimah: Assalamu’alaikum wrwb mbak, perkenalkan saya Fatimah, salam kenal ya mbak..
    <21/07/2011 02:35:40 PM>
    Khadijah:Wa’alaikumsalam wrwb, alhamdulillah salam kenal juga ya dik
    <21/07/2011 02:39:20 PM>
    Fatimah: Apa kabar mbak? Kalau boleh tau mbak sedang sibuk apa?
    <21/07/2011 02:40:10PM>
    Khadijah: Alhamdulillah kabar baik, mbak sekarang sedang sibuk ngajar anak-anak gede..boleh saya Bertanya dik?. Andai nanti kalau sampeyan udah nikah trus ditinggal suami kerja jauh gimana? Boleh tau bgmn visi & misi sampean dlm berkeluarga?
    <21/07/2011 02:48:21PM>
    Fatimah: Suami kerja jauh menurut saya tidak masalah, krn saya menganggap itu hanya temporary. Kalau memungkinkan saya ikut maka saya akn ikut tp kalo tidak bukan menjadi soal. Menurut saya yang terpenting adalah bisa saling menjaga nama baik keluarga dan komit dgn apa yang tlah disepakati. Visi saya menciptakan keluarga yang bisa bersama sampai ke Surga dan Misi saya adalah menciptakan keluarga yang hangat, saling menghormati dengan keterbukaan dan komunikasi yang intens.
    <21/07/2011 16:45:25 PM>
    Khadijah: Adik gimana harapan sampean tentang suami sampean kelak? Gimana juga keinginan sampean jk kelak jd istri?
    <21/07/2011 06:55:30 PM>
    Fatimah : Harapan saya adl memiliki suami yang dengan kelembutannya bs membuat anak dan istrinya taat. Harapan saya kelak ketika saya mjd istri adl menjadi istri yang bisa diandalakan disituasi apapun tentunya tetap dalam porsi saya sebagai Ibu dan Istri.
    <21/07/2011 07:05:35 PM>
    Khadijah:Adik, gimana menurut sampean kalo suami bekerja sbg karyawan dg status tdk tetap/kontrak artinya sewaktu-waktu bisa berpindah tempat atau diberhentikan?
    <21/07/2011 07:12:21 PM>
    Fatimah : Gaji itu yang menggaji bos/perusahaan dan rejeki yang memberi adalah Alloh. Alloh lebih abadi dibandingkan bos /perusahaan. Selama tetap berusaha dan melebihkan usaha serta terus menggantungkan harapan padaNya insyaAlloh saya yakin Dia akan selalu mencukupi Wallahu’alam
    <21/07/2011 07:20:32 PM>
    Khadijah: Subhanallah...semoga adik kelak jd istri yang sholehah..
    <21/07/2011 07:58:41 PM>

    Fatimah menutup dialog inbox ini dengan doa singkat “Amin”.

    Tempe penyet sambel bawang warisan bapak

    Menikmati setiap kunyahan adalah mengundangnya untuk hadir, saat menyiapkan sarapan terenak yang pernah lidahku rasakan. Bayangannya begitu lekat saat beliau mulai menggoreng tempe dengan bumbu sederhana bawang dan garam. Sembari tangan beliau dengan lincah membolak balikkan setiap tempe yang mulai berubah warna.

    Dengan gesit dan cekatan tangan beliau meracik bumbu dan mengulek sambal bawang yang terdiri dari cabe, bawang, garam dan sedikit bumbu penyedap merk ‘sasa’. Sambal bawang inilah yang akan menjadi pelengkap kesempurnaan dari menu sarapan pagi kami. Tak lupa ada satu momen yang sangat aku suka adalah dituangkannya minyak jelantah panas sisa dari menggoreng tempe kedalam cobek sambel bawang, bunyi kratak-kratak yang menandakan pertemuan antara racikan sambal bawang yang telah diulek dengan minyak jelantah panas adalah momen sakral yang sangat aku tunggu. Momen sakral sesaat sebelum proses akhir saat tempe panas dari penggorengan itu di penyet diatas cobek yang sudah ada sambal bawangnya. Nasi panas yang mengepul diatas piring kami seakan menyambut hangat kehadiran tempe penyet sambal bawang terenak yang dibuat dan disajikan bapak disetiap pagi sebelum aku dan cucunya berangkat sekolah.

    Tidak ada yang spesial dari tempe, bumbu sambal maupun gerakan ulekan bapak, tapi entah kenapa lidahku selalu mengagumi setiap rasa yang sampai pada sensor perasa. Ketika Ibu ataupun kakak menduplikasi menu tersebut selalu tidak dapat mengungguli citarasa tempe penyet sambal bawang bapak. Bukan berlebihan jika kami anak-anak dan cucunya berkelakar bahwa bapak telah mengunakan jompa jampi yang sangat dirahasiakan.

    Dan hari ini, beberapa puluh tahun kemudian disaat cerita diatas telah menjadi memori nostalgia, aku telah berhasil menduplikasikan tempe penyet sambel bawang bapak. Dengan racikan dan rasa cinta -yang aku yakin bapak selalu hadirkan setiap beliau memasak untuk kami- aku berusaha menduplikasi persis seperti apa yang telah bapak buat, dan sempurna!. Aku selalu bersyukur dan berterimakasih kepada bapak yang telah mewariskan resep tempe penyet sambal bawang. Sampai aku punya impian, dimana suatu saat punya warung tempe penyet sambal bawang. Proses memasak serta bumbu rahasia ala bapak dengan penyajian yang istimewa, sesuai dengan kesederhanaan yang diciptakan oleh menu sederhana penuh cinta dan cita rasa bernama tempe penyet sambal bawang. Dan anda perlu tahu kalau aku juga sudah menyiapkan nama warungnya yaitu “Warung Mbok Rondo atau Warung Mbah Bayan”, kenapa aku memilih nama itu? Aku tak perlu menceritakannya disini.
    Ini ceritaku, bagaimana dengan ceritamu?!

    Thanks to didi yang selalu mengagumi sambal bawang buatanku (kedip-kedip mata kelilipan)

    Baitus Silmi 23 Juli 2011

    Demam Fixie

    Judul diatas adalah sebuah kesimpulan dari pengamatan saya terhadap lalu lalang orang di toko sepeda. Ya, memang pengamatan saya tidak lebih dari sembilan puluh menit di dua toko sepeda, tetapi saya sudah merasa cukup untuk membuat kesimpulan ditambah dengan fenomena menarik yang saya temukan ketika sembilan puluh menit saya berada di dua toko sepeda tersebut.

    Lima belas menit pertama saya berada ditoko sepeda pertama. Saya tidak menyangka kalau ternyata toko sepeda pada akhir pekan sudah seperti pasar senggol, yang pembelinya bisa sambil senggal-senggol kanan-kiri antar sesama pembeli, belum lagi sudah seperti antri sembako yang sampai meluber ke trotoar. Menarik pikir saya, apa sih yang sedang mereka cari, apakah mereka hanya melihat-lihat, membeli sepeda siap jadi atau berburu part sepeda seperti saya?. Ternyata jawabannya sebagaian besar dari mereka adalah berburu part, dan ternyatanya lagi, part yang mereka beli tidak jauh dari hal-hal yang berwarna-warni, yang kalau saya tidak salah menyipulkan itu adalah part fixie. Dan fenomena lain yang sempat saya tangkap di toko sepeda pertama ini ialah selama lima belas menit saya di toko sepeda itu sudah ada dua sepeda fixie yang terjual.

    Tujuh puluh lima menit berikutnya saya pindah ke toko kedua. Pemandangan yang saya tangkap tidak jauh berbeda dengan toko pertama, akan tetapi di toko kedua ini lebih banyak pembeli yang memakai seragam sekolah. Saya berpikir kembali, apalagi yang mereka cari kalo bukan segala hal yang berwarna-warni dan itu adalah fixie. Benar karena setelah mereka keluar dari toko itu, yang mereka tenteng adalah ban warna-warni, velg warna-warni dan frem warna-warni. Belum sampai disitu, masih dilokasi yang sama, secara tidak sengaja saya bertemu dengan dua teman saya yang kata mereka sih sedang menemani bapaknya yang sudah berumur untuk berburu part fixie. Saya tanya ke teman saya itu. “Bapakmu mau rakit sepeda apa?” sambil saya membayangkan sepeda MTB. Lalu teman saya menjawab, “ Bapak mau merakit sepeda fixie, ini nyari frame karbon yang fixie.” Ahhh.. saya sangat yakin teman saya berbohong, saya tidak yakin masak bapaknya yang sudah uzur itu mau ber fixie ria. Kemudian saya bertanya keteman saya yang kedua, “Bapakmu mau merakit sepeda ya? Sepeda fixie juga?”, yang jawab ternyata malah Bapakanya sendiri, “Iya nak bapak mau merakit fixie, tapi pakai torpedo.”

    Meskipun saya tidak yakin Bapak teman saya itu akan jadi fixiolist sejati yang bebas berekspresi dengan warna-warni, tapi saya yakin bahwa demam fixie sudah menjangkit dimana-mana (baca: Surabaya). Sampai anak teman saya yang masih berumur 10 tahun juga mulai menggoda mamanya untuk minta dibelikan sepeda warna-warni kaya permen lollipop itu. Apakah anda tergoda untuk terjangkiti demam fixie?! Kalau saya Fixie banci aja ah…Warna Fixie tapi pakai rem :D

    Ahad malam, kala menunggu senin datang

    6 Feb 2011

    Di suatu senja

    Senja telah mengubah panorama kota menjadi teramat romantis dan sentimentil. Aku selalu menikmatinya, ketenangan udara sore yang mulai dingin menyentuh permukaan kulitku dipadu dengan indahnya langit merah saga di ufuk barat adalah obat yang sangat mujarab untuk mengobati kelelahanku menjalani lakon hari ini, dan aku memulai petualangan romantis diujung senja ini dari atas Fonger Groningen keluaran 1910 yang selalu setia menemaniku.

    Ku lirik silver tone degrade dial yang menempel dilengan kananku, “hemm vandaag om 16:30” gumamku lirih, mulai kutambah kecepatan kayuhanku untuk lekas meninggalkan Heerenstraat yang mulai padat merayap untuk segera menuju Simpangsche Societeit. Tampaknya sore ini sangat padat disekitar Heerenstraat, biasanya aku hanya membutuhkan waktu 10 menit dari Gebroders Knaud untuk sampai Hoofd Postkantoor. Tapi sore ini terlampau padat dengan lalu lalang para tuan-tuan yang akan menghabiskan malam akhir taun dengan pesta pora disepanjang jalan ini. “Kenapa aku tadi tidak naik tram saja ya, ah sudahlah beberapa hari ini aku selalu kecewa dengan tram yang penuh sesak, apalagi kalau naik tram aku harus turun didepan Governoure Kantoor, karena rute tram yang terlampau pendek hanya disekitar pusat kota, sedangkan rumahku ada dipinggir”.

    Padatnya Heerenstraat tidak menyiutkan niatanku untuk menyambangi Hoofd Postkantoor. Seharusnya pagi tadi aku mengeposkan surat ini, tapi karena kelalaianku, maka pagi tadi aku tidak punya waktu untuk mampir sebentar ke Hoofd postkantoor. Surat yang aku sangka telah tersimpan dengan aman di Daytone e/w messenger kesayangnku tertanyata tertinggal diatas meja kerjaku, dengan terpaksa aku harus kembali pulang kerumah, dan aku baru menyadarinya ketika fongerku telah sampai di Tuinhuis.

    Kalau seandainya surat tadi tidak tertinggal maka senja ini aku akan bisa menikmati panorama senja ini diatas Ferwedabrug, ya walaupun hanya sebentar tapi setidaknya dari Ferwedabrug ini, kecantikan para nonik-nonik itu bisa aku nikmati. Nonik-nonik dengan gaun indahnya dipadu dengan Champagne dial yang melingkari lengan ramping mereka, maka biasanya aku akan melempar senyum termanisku untuk memulai percakapan. “Ah sudahlah, senjakan tidak hanya hari ini”, hiburku pada diri sendiri.
    Sebenarnya aku tidak perlu susah-susah mengeposkan surat ini, kalau mau aku bisa menitipkan surat ini pada sahabatku yang bekerja di Handels Vareeniging Amsterdam karena setiap hari ia mengirimkan dokumen-dokumen melalui Hoofd postkantoor. Tapi entah kenapa hal ini tidak terpikirkan sama sekali. Kalau aku tadi sempat berpikir untuk menitipkan surat ini kepada sahabatku maka aku akan bisa menikmati senja di atas Farwedabrug dan tentunya aku juga tidak akan terlambat menghadiri undangan minum teh Tuan Ed Cuypers dan Hulswit Fermont di Simpangsche Societeit sore ini. “Sudahlah kenapa harus disesali, semoga lusa aku punya waktu untuk mampir sebentar dikediaman mereka di Commedia Straat, agar mereka tidak terlalu kecewa dan tak urung mengenalkanku dengan keponakan mereka yang cantik”

    ## semoga imajinasi anda mengenai setting dalam cerita ini benar ^^

    Fonger: Merk sepeda yang berasal dari Belanda

    silver tone degrade dial: Salah satu trend traveler watches milik Fossil dengan tema Long Live vintage

    Heerenstraat: Berarti jalan tuan-tuan, sekarang jalan Rajawali. Kenapa dinamakan tuan-tuan karena pada saat itu jalan ini menjadi pusat administrasi perdagangan dan perkebunan yang dipimpin oleh para tuan-tuan Belanda

    Simpangsche Societeit: sekarang disebut Balai Pemuda, dulu gedung ini berfungsi untuk tempat pesta dan pertemuan orang-orang Belanda.

    Gebroders Knaud: Gedung yang terletak di jalan Rajawali no.5 juga dikenal dengan nama The Cigar Building atau gedung cerutu, hanya bentuk gedungnya saja yang mirip cerutu, tetapi bukan gedung perusahaan cerutu, di bangun tahun 1916.

    Hofd Postkantoor: Berarti kantor pos, yang dimaksud kantor pos dalam cerita ini adalah kantor pos pusat di jalan Kebun Rojo no. 10. Gedung ini pada tahun 1861 difungsikan sebagai karesidenan, kebudian pada 1926 berubah fungsi sebagai HBS (sekolah milik belanda setingkat SMP atau SMU) dan disinilah Presiden pertama RI bersekolah.

    Governoure Kantoor: Kantor Gubernur yang berada di jalan yang dulunya bernama Aloon-aloon straat. Gedung ini dibangun 1929 – 1931, sebagai kantor Gubernur dalam rangka pelaksanaan politik desentralisasi.

    Daytone e/w messenger: Vintage bag untuk laki-laki koleksi Fossil
    Tuinhuis: Gedung Grahadi 1795, awal mulanya gedung ini dibangun menghadap kesungai mas sebelum dirubah menghadap ke jalan, dan sekarang difungsikan sebagai gedung resmi perjamuan Gubernur Jawa Timur.

    Ferwedabrug: Jembatan merah, catatan sejarah menyebutkan disekitar jembatan ini terjadi pertempuran yang paling seru di pulau Jawa antara arek-arek Suroboyo dan tentara sekutu. Dalam pertempuran 10 Nopember 1945 inilah Brigjen Mallaby, seorang jenderal pasukan sekutu tewas. Disebut jembatan merah, karena pada saat pertempuran jembatan ini berwarna merah karena banyaknya darah pejuang yang tercecer.

    Champagne dial: Bracelet watches vintage edition by Fossil.

    Handels Vareeniging Amsterdam: Perusahaan perkebunan Belanda yang sekarang kantornya berubah nama menjadi PTPN XI

    Ed Cuypers dan Hulswit Fermont: Nama arsitek yang mebuat design gedung terindah dan termewah di Surabaya pada masanya yaitu gedung PTPN XI atau dulu dikenal dengan nama HVA. Gedung yang ubinnya berupa batu marmer yang langsung di impor dari Belgia begitu juga dengan keramik kuning yang menghiasi temboknya.

    Commedia Straat: Sekarang dikenal dengan jalan merak, jalan dimana ada
    gedung PTPN XI

    Sumber: Surabaya Heritage Map By House of Sampoerna dan Suara Surabaya

    “Sepenggal potret sejarah Surabaya yang saya sangat menyukainya”

    Kenangan yang terperangkap di sepeda tua

    Aku mengenalnya sebagai seorang Indonesia, bukan Belanda, Perancis atau Jepang. Orang-orang memang pasti akan selalu bertanya-tanya tentang identitasnya. Wajahnya tidak sedikit pun sama dengan kebanyakan orang Indonesia, wajahnya lebih kental dengan wajah orang-orang eropa. Tidak mengherankan jika dia selalu mencuri perhatian orang-orang yang baru pertama mengenalnya.

    Nama lelaki itu, Rangga. Tiga tempat yang sangat dia suka, perpustakaan, museum dan jalanan. Perpustakaan, tempat dia mentransformasikan kata tidak tahu menjadi tahu. Museum, tempat dia berkhayal akan sebuah peristiwa dan jalanan, tempat dia melihat berbagai peran berbagai macam anak manusia. Dan jalanan juga, akhirnya menjadi tempat dia menjadi manusia seutuhnya.

    Aku tidak pernah mengerti sudah sejak kapan aku mulai tertarik kepadanya. Aku tidak pernah tahu alasan kenapa aku bisa begitu peduli dengan keadaannya sekarang. Aku tidak mengerti mengapa hampir setiap malam, ketika langit siang digantikan dengan langit petang di atas rumahku. Aku akan selalu menunggunya pulang, memastikan dia pulang dengan keadaan yang benar-benar baik, tidak terluka sedikit pun.

    Aku tahu bagaimana kerasnya jalanan. Aku tahu banyak orang yang seringkali dengan sengaja melukainya. Aku khawatir dengannya, Rangga.

    Aku selalu bilang padanya, "Rangga, ini bukan Amsterdam, kota dimana kamu bisa menikmati jalanan dengan sepeda tua kesayanganmu itu, tapi ini Jakarta, sekali lagi ini Jakarta ,Rangga. Tolong pahamilah aku ketika aku sangat mengkhawatirkanmu"

    "Never mind, Dinda. Ik zal het ok. Maak je geen zorgen over mij!. Kamu sudah sangat baik dengan peduli padaku, Dinda. Tapi, aku sudah memutuskan untuk menjalani hidupku seperti ini."

    "Aku sengaja datang kesini, karena aku tahu, waktu yang kupunyai sudah tidak lama lagi. Dan, aku ingin memanfaatkan waktu itu sebaik-baiknya. Tidak bisakah kamu memberikanku kesempatan untuk itu? Aku mohon.

    Kamu tahu tentang kanker yang aku punyai sekarang kan? Waktuku tidak banyak lagi. Tolonglah aku."

    'Kanker', sebuah kata yang selalu membuatku sesak nafas secara tiba-tiba, dan kata itu selalu Rangga jadikan senjata ketika aku menunjukkan kekhawatiranku atas keselmatan dia dengan sepeda tuanya.

    Aku selalu tidak bisa terima jika kita terus mengulang dan mengulang perdebatan ini, aku dengan kekhawatiranku dan kamu dengan aktifitas 'surgawi'mu itu bersepeda di hutan rimba Jakarta dengan kanker yang semakin menggurita di tubuhmu.

    Ah, sudah beberapa hari ini aku tidak melihat Rangga. Tidak kudengar lagi suaranya yang berat membangunkanku di pagi hari seperti layaknya hari-hari sebelum ini.

    Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Rangga? Haruskah aku ke rumahnya dan melihat keadaannya? Aku sangat khawatir.

    Aku butuh untuk tahu. Aku akan pergi mencari tahu keadaannya.

    Berbagai bayangan buruk menghantuiku selama perjalanan ke rumah Rangga, apakah ini sebuah firasat? Oh Tuhan aku belum mau mengakhiri cerita ini, aku masih ingin terus menjadi bagian dari lakonku dengan Rangga.

    Aku semakin cepat melangkahkan kakiku, semakin cepat dan cepat. Semua yang ada di sekitarku tak ku hiraukan, karena aku hanya ingin segera melihat Rangga dan Rangga.

    Aku sudah sampai di depan pintu rumahnya. Kutekan bel yang ada di hadapanku. Aku ingin segera merangsek masuk ke dalam rumah dan bertanya kepada Bundanya Rangga. Aku ingin tahu keadaannya.

    Beberapa kali kutekan bel rumah Rangga, tapi tidak ada sedikit pun jawaban yang aku terima, tidak ada seorang pun yang membukakan pintu. Aku makin khawatir.

    Setelah setengah jam berdiri di depan rumah Rangga, kurasakan ponselku bergetar.

    "Nak Dinda, Rangga sedang di rumah sakit sekarang. Bisa datang ke sini? Rangga mengigau nama kamu dari sejak tadi malam."

    Aku berusaha melanjutkan kata perkata yang aku baca dalam layar ponselku. Tanpa berpikir panjang aku langkahkan kakiku untuk bisa sampai ke halte bus.

    "Kenapa busnya lama sekali ya?" bisikku lirih sambil menggigit bibir bawahku.

    Mataku segera menangkap taksi yang riwa-riwi, dan aku melambaikan tanganku

    "RS Tombo Loro pak, gak pake lama ya pak!"

    "Iya mbak." Supir taksi yang kutumpangi mulai menyalakan mobilnya dan melaju meninggalkan halte bis.

    Sepanjang perjalanan, aku berdoa, semoga hal yang selama ini aku takut-takutkan tidak terjadi. Aku masih berharap Rangga bisa menemaniku lagi menulis seperti yang dulu sering ia lakukan bersamaku di bulan-bulan awal kepindahan dia ke Indonesia dari Amsterdam.

    Aku ingin merasakan lagi canda tawa yang selalu aku bisa dapatkan dari kehangatan pribadinya. Aku ingin bisa memeluk dia lagi seperti saat dia memberikanku payung berwarna biru di saat menjemputku di halte bis biasa dekat rumahku.

    Aku ingin membaui lagi harum parfum yang selalu dia pakai di saat dia mulai menjelajahi rimba jalanan di Jakarta dengan sepedanya.

    Begitu banyak yang aku ingin rasakan lagi. Aku tidak mau Rangga pergi. Tidak secepat ini.

    Aku tidak siap Tuhan, aku tidak siap jika harus secepat ini.

    "Bapak bisa agak cepat tidak pak?", kataku sambil menatap jalanan Jakarta yang dipadati kendaraan berasap

    "Maaf mbak, kalau macet begini, saya tidak bisa berbuat apa-apa." jawab pak sopir dengan santun

    "Lah kan Bapak bisa nyari jalan alternatif, tidak harus lewat sinikan pak". Protesku dengan ketus. Aku benar-benar lupa bahwa ini adalah Jakarta.

    "Walah mbak, kalau macet begini, semut saja tidak bisa bergerak, mbak, boro-boro jalan alternatif"

    Tuhan aku ingin meminta sayap padamu saat ini juga, sayap yang bisa membuatku terbang dengan cepat ke tempat dimana Rangga saat ini berada.

    Tapi tiba-tiba dalam lamunan dan doaku, aku melihat sekelebat benda yang menerobos diantara celah-celah jalanan

    "Apakah itu sepeda Rangga", gumamku lirih. Tapi, kutepis pikiran itu, tidak mungkin itu Rangga. Rangga sedang berada di rumah sakit sekarang, dan aku harus segera berada di sana sebelum segala sesuatunya terlambat.

    Aku belum sempat memberitahunya tentang perasaanku kepadanya. Sudah lama aku simpan rasa yang selalu membuatku merinding ini jika mengingat dia dengan kehangatannya.

    "Pak, masih jauh? Saya harus segera kesana Pak, saya takut semuanya terlambat Pak."

    "Masih mbak, sekitar setengah jam lagi dari sini mbak. Semoga saja perjalanan kesana tidak semacet biasanya mbak."

    "Tolong, ya, pak."

    "Iya mbak."

    Rumah Sakit Tombo Loro, aku membaca papan besar tidak jauh dari taksi yang kutumpangi.

    Aku ingin segera membuka pintu taksi ini dan segera berlari masuk kedalam untuk segera menemuinya. "Kembaliannya buat bapak aja, doakan semua baik-baik saja ya pak", sembari kusodorkan lembar merah seratus ribuan.

    Aku berlari dengan tergesa-gesa ke arah Rumah Sakit. Ingin kusegera pergi ke ruang tempat Rangga dirawat, sampai kurasakan ponselku bergetar lagi lebih kencang dari biasanya.

    "Nak Dinda. Rangga sudah pergi meninggalkan kita untuk selamanya."

    Kakiku terasa lumpuh. Air mataku turun deras tak terbendung. Aku tidak percaya dengan kabar yang kuterima.



    -
    10 Tahun telah berlalu sejak kepergian Rangga. Tapi bagiku dia tidak pergi, karena setiap pagi dia selalu menemaniku. Menemaniku dalam aktifitas 'surgawi', aktifitas yang terus membuat Rangga hidup. Hanya aku yang bisa merasakan bahwa Rangga masih hidup, karena aku melakukan apa yang selalu ia lakukan, aktivitas 'surgawi' bagi seorang Rangga. Sepeda tua miliknya menemaniku hampir kemana pun aku pergi. Aku sayang kamu, Rangga. Sungguh, dan itu tidak akan pernah berakhir, meskipun kamu sudah tidak lagi ada di dunia ini.



    Cerita kroyokan: Aida dan Teguh Puja ^^

    Penenang alami bernama bersepeda

    Sejak mengenal aktivitas bersepeda, saya jadi punya cara baru untuk mengusir stres. Kebanyakan dari kita sering mengusir stres dengan makanan. Tak tanggung-tanggung semakin tinggi kadar stres yang menjangkiti maka semakin banyak makanan yang dipaksa masuk keperut walaupun sudah kenyang. Seperti saya, satu kotak martabak manis adalah porsi yang sedikit untuk sekali lahap . Alih-alih stres akan pergi, malah akan menambah stres baru, ketika kebiasaan buruk itu berdampak pada bertambahnya lingkar pinggang dan jaringan lemak dalam tubuh.



    Berbeda kondisinya saat saya menemukan formula baru dalam mengusir stres, apalagi kalau bukan bersepeda. Awalnya tidak terlalu sadar kenapa bersepeda bisa mengusir stres. Setelah beberapa kali bersepeda saat stres, saya baru bisa menganalisa sehingga menghasilkan penjelasan yang sangat sederhana.



    Ketika stres, hormon kebahagiaan yang biasa disebut endorfin atau ada yang menyebutnya sebagai penenang alami sekaligus “malaikat” pemberi bahagia tubuh kita jumlahnya berkurang, berbalik dengan jumlah hormon kortisol dan adrenalin yang melimpah sehingga yang dibutuhkan untuk mengimbangi hormon kortisol dan andrenalin tersebut adalah aktifitas yang bisa menambah jumlah endorfin, dan masing-masing orang memiliki cara sendiri-sendiri untuk menambah endorfin itu, misalnya nonton, makan, tidur, traveling atau olahraga seperti jogging dsb.



    Bersepeda adalah salah satu cara alternatif yang bisa dicoba, sambil menggowes saat menemani teman yang sedang stres, saya mencoba mencari tahu kenapa begitu nikmat sekali kayuhan sepeda saya ketika saya stres, akhirnya saya menemukan jawabannya. Seperti diketahui efek nyata bersepeda atau berolah raga adalah lancarnya peredaran darah, lancarnya suplai oksigen dalam otak, dan ini poin awal untuk memberikan efek kebahagiaan.



    Poin kedua adalah saat bersepeda, diri kita ada jeda untuk merenung dan merespon dengan lingkungan sekitar. Saat mengayuh, pancaindera kita sangat sensitif merespon kejadian yang terjadi dilingkungan sekitar, tentunya dengan catatan kecepatan bersepeda kita tidak menyamai kecepatan saat bermotor misalnya 30-40 km/jam. Contoh kecil panca indera kita merespon fenomena lingkungan sekitar adalah saat mata kita menangkap fenomena kesederhanaan para kaum dhuafa yang menghias sudut-sudut kota. Kemudian otak kita akan merespon dengan cara berfikir dan merenung, bahwa sangat beruntungnya kita dengan kehidupan yang telah Tuhan kasih. Keimanan, Ilmu, kesehatan, keluarga dan rejeki sehingga kita bisa menikmati kayuhan dari atas sadel sepeda. Coba rasakan setiap gerakan dan ritme organ dalam tubuh kita, mulai proses masuknya oksigen dalam hidung kita, kedipan mata, gerakan kaki dan tangan, masuknya suara ketelinga, gerakan jari dan tangan, detak jantung semua rasakan dengan seungguh-sunguh saat anda bersepeda. Rasakan, perhatikan dan renungkan, bahwa ini adalah kekayaan yang tak terkira, lalu kenapa harus bersedih dan stres?



    Poin ketika adalah saat bersepeda akan terjadi interaksi sosial yang cukup meng upgrade endorfin, terutama interaksi sosial dengan teman bersepeda kita. Ngobrol tentang apa saja, bergurau, bercanda adalah resep yang mujarap untuk menambah jumlah endorfin dalam tubuh, apalagi kalau bersepedanya diberi tema bike to kuliner, bersepeda 3 kilometer bakso satu mangkok, begitu seterusnya. Lebih baik daripada satu mangkok bakso terus tidur.



    Poin terakhir yang tak kalah penting saat bersepeda mengusir stres adalah dapat menyambung silaturahim atau menambah pertemanan. Seperti gowes saya disuatu sore, awalnya tidak begitu bersemangat, tapi karena melihat stres teman saya sudah mengkhawatirkan, baiklah saya mengalah, dengan ditemani senja yang indah dengan merah saganya serta semilir angin sore, saya, teman saya yang membawa temannya memulai bersepeda menuju suatu tempat yang asyik untuk menikmati sore. Tak disangka ternyata teman baru yang dikenalkan teman saya sedang ulang tahun, akhirnya makanan kami gratis deh, karena dia yang traktir. Sudah dapat teman baru, makan gratis dan tentunya bulan purnama yang indah saat kami mengayuh sepeda kami pulang. Oiya tentunya satu hal yang pasti, stres teman saya hilang. Mujarab bukan penenang alami bernama bersepeda?

    Mahal Tak Selalu Istimewa

    Cuma ada dua kata yang bisa menerangkan kata ‘harga’ yaitu mahal atau murah. Dimana kata itu juga memiliki ukuran masing-masing, tergantung dari ukuran siapa. Seperangkat internal gear bermerk bagi para ‘borjuis’ sepeda sangatlah murah. Tetapi bagi sebagian orang yang masih mempertanyakan besok makan apa tentulah sangat mahal. Mahal dan murah yang memang diukur dari nilai bernama uang.

    Ada mahal dan murah yang tidak diukur dengan uang tetapi diukur dengan niat dan keikhlasan. Menurut saya ini adalah ukuran yang paling prestisius dan membanggakan karena dibayar dengan hati dan tidak ada toko manapun yang menjualnya. Jika harga yang diukur dengan uang siapapun pasti bisa, asal memiliki uang.

    Maka tak akan silau mata saya melihat sepeda mahal dengan teknologi terbaru yang super canggih. Tetapi akan silau mata saya jika ada sepeda sederhana jauh dari kata bermerk, canggih dan buatan luar negeri yang digowes setiap hari, mengukur jalanan dibawah panasnya terik mentari, dinginnya tetesan air hujan dengan segala niat dan keikhlasan untuk meneruskan lakon kehidupan. Seperti sepeda-sepeda perjuangan yang menghiasi jalanan di Surabaya saat pagi dan petang. Sepeda karatan dan dekil yang menemani sang pemilik untuk mencari penghidupan.

    Lalu kembali saya merenung atas sebuah pertanyaan yang mampir ketelinga saya,”apa istimewanya sepedamu?”. Saya mengerti maksud dari kata istimewa tersebut yaitu merk dan teknologi. Saya faham sepeda saya tidak ada yang istimewa bagi sang penanya, karena sepeda saya adalah sepeda rongsokan besi tua, warisan dari masa lalu saat kakak menghadiahi sepeda Federal yang saat itu sangat saya impikan. Saat Krisdayanti memenangkan grand final Asia bagus, saat itulah mimpi saya untuk memiliki sepeda federal menjadi kenyataan. Kini warisan masa lalu itu hadir kembali setelah sekian lama menjadi besi tua yang tak berharga. Secara fisik tidak ada yang istimewa akan tetapi dia sebenarnya sangat istimewa karena ia adalah bagian dari sejarah, dan sejarah tidak bisa dibeli dengan uang, merk dan teknologi. Hanya bisa dibeli dengan hati yang ikhlas untuk menggunaknnya kembali dan berniat akan menjadi bagian lakon kehidupan saat ini. Lalu saya akan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban, “istimewanya sepedaku karena aku menggunakannya setiap hari”.

    Bagaimana dengan anda?

    Masih adakah rongsokan besi tua itu di rumah anda? Jika masih, maka anda tak terlalu istimewa. Membeli yang baru itu tak istimewa, memilih yang mahal itu belum tentu istimewa tapi menerima kembali yang lama itu teramat istimewa. Mengutip dari kalimat Daniel Goleman dalam bukunya “Mengungkap rahasia dibalik produk-produk yang kita beli”, bahwa bila kita membuang sesuatu, sebenarnya benda itu tidak akan terbuang, benda itu tetap ada di planet bumi. Mendaur ulang saat ini adalah sebuah pilihan yang sepertinya sudah cukup baik diantara pilihan yang ada-sementara kita luput melihat bahwa pilihan yang ditawarkan pun sangat sedikit.