• aida: Juli 2010

    Minggu, 18 Juli 2010

    Negeri 'Van' Bike

    Ah… terlalu kejam dan ngawur kalau saya membandingkan bagaimana potret sepeda di Indonesia dengan Ibukotanya Jakarta dan Belanda dengan Ibukotanya Amsterdam. Memang sama-sama Ibukota negara antara Jakarta dan Amsterdam. Meskipun mereka memiliki perbedaan yang tidak cukup dihitung dengan jari.

    Okelah saya tidak akan membandingkan dua kota ini tetapi sangat boleh dung, kalau saya sebagai pecinta sepeda dan Belanda (bukannya saya tidak nasionalis, karena memang terlalu banyak keelokan negara ini yang masuk dalam memori otak saya) memotret sedikit bagaimana sepeda di Amsterdam -meskipun saya belum pernah kesana- telah menjadi kebutuhan pokok para meneer layaknya beras di Indonesia. Seperti perut saya, meskipun sudah makan kentang goreng, spagetti, pizza atau burger (cieeeh…sok londo), tetap cacing-cacing dalam perut saya akan menggelar aksi rusuh disepanjang usus 12 jari, untuk meminta jatah nasi pecel, nasi rawon atau nasi goreng.

    Begitu juga dengan orang Belanda bilang, meskipun sudah ada transportasi publik yang sangat layak seperti tram-untuk alat ransportasi satu ini saya selalu mengidentikan hasil persilangan antara bus dengan kereta api- metro, tentunya beda dengan metromini buntut yang dikemudikan para sopir yang menganggap jalanan sebagai sirkuit yang tidak berambu, kereta -yang rongsokannya diimpor Indonesia untuk didaur ulang menjadi kereta ekonomi favorit saya kalau mudik ke desa- dan terkhir tak ketinggalan bus, skali lagi bukan bus busuk dengan tinta cumi-cumi (baca:asap hitam knalpot) yang tidak hanya membuat paru-paru kita menghitam tetapi juga muka dan warna upil.

    Dengan fasilitas transportasi umum yang sangat layak tersebut ternyata tidak membuat para meneer berpaling hati, tetap sepeda sebagai alat transportasi utama. Tidak mengherankan kalau aktifitas bersepeda disana sudah menjadi budaya, dengan 40% penduduk Belanda menggunakan sepeda sebagai moda transportasi utama. Ya..gampangannya seperti sepeda motor di Indonesialah. Kalau ponakan saya disuruh ke warung yang jaraknya tak kurang dari 500 meter akan menggunakan motor, berbeda dengan ponakan-ponakan saya yang ada di Belanda. Meskipun kencan dengan segala atribut yang super duper ribet seperti high heels, long dress tak lupa tetap sepeda sebagai tunggangan kebanggaan. Tidak mengherankan, kalau disana tidak ada kualifikasi memilih pacar berdasarkan tunggangan hehehehe…(beruntunglah para meneer belanda itu). Belum lagi para profesional disana yang tak malu dan ragu menggowes sepeda ketempat mereka bekerja, kalo temen-temen saya bilang ber bike 2 work begitu. Meskipun sudah kece dengan stelan jas, sepatu pantofel dengan dandanan menor tak menghalangi untuk mengayuh pedal, tak peduli warna kulit, kriting atau lurus, jelek atau cakep, pendek atau tinggi, bayi, anak-anak, remaja, bapak-Ibu, Kakek-nenek semuanya bersepeda untuk aktivitas sehari-hari. Jadi kalau ada fun bike yang digelar tiap hari, gratis tanpa ada hadiah dan penyanyi dangdut yang kurang santun maka di Amsterdamlah tempatnya.

    Tapi jangan heran disana tidak dikenal yang namanya helm, jangan heran juga kalau disana juga tidak dikenal rumus kepala tidak sama dengan tomat, kalau kepalamu sudah pernah nyium mesra aspal maka tidak dapat diganti dengan membelinya dipasar. Fenomena ini berbeda dengan negara-negara di benua Amerika terutama San Frasisco, yang mewajibkan rakyatnya bersepeda dengan menggunakan helm. Saya belum menemukan alasan khusus kenapa para meneer ini tidak mengenal yang namanya helm sepeda. *kasian produsen helm sepeda disana ya??hehehe…. Mungkin karena para meneer ini takut dandan rambut, atau minyak rambutnya akan berfragmentasi dengan keringat didalam helm (ga nyambung..)

    Lalu seberapa berharganya sepeda disana diukur dengan nominal angka, kalau ngomongin harga jangan lantas anda mikirnya sepeda yang mahal itu seperti sepeda gunung dengan full suspense, group set nomor wahid, saddle anti pegel, frame carbon super ringan atau apapun yang terkadang saya suka heran dengan harga sepeda yang bisa melebihi harga mobil keluaran terbaru (lebay kan??). Namanya sepeda sebagai budaya berbeda dengan sepeda sebagai life style. Sepeda sebagai budaya, sejelek apapun sepeda itu, sekuno dan sekaraten apapun sepeda itu tetap berharga. Jadi jangan heran kalau di Amsterdam sepeda jelek karatan,dipinggir jalan, digembok dengan empat gembok gede, yang kalau maling liat saja pasti sudah enek liatnya. Tak mengherankan kalau sepeda yang kita orang Indonesia menganggapnya jelek ditambahi banget sebegitu berharganya disana, bahkan angka pencurian sepeda disana sangat tinggi, seperti angka pencurian sepeda motor di Indonesia.



    Melihat begitu eloknya potret sepeda di Belanda tidak berlebihan jika Belanda dalam hal ini Amsterdam menduduki angka satu sebagai 11 most bike friendly cities atau kata lainnya surganya para pesepeda. Saya yakin pasti anda protes dengan perbandingan potret sepeda di Amsterdam dengan potret sepeda di Indonesia, kurang lebih kalimat protes di otak anda seperti ini, "ya panteslah sepeda sudah sangat membudaya di Amsterdam, lawong udaranya saja adem, sejuk, tidak panas menyengat dan polusi seperti Jakarta atau kota-kota besar di Indonesia”. Ahaaaaa…mari kita liat Bangladesh yang secara tipikal baik iklim maupun sosial ekonominya tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Disana sepeda juga menjadi budaya, lalu apa dong yang salah, yang salah karena kita tidak mau mencoba dan menjiplak hal-hal baik, seperti budaya bersepeda.

    Penulis sangat yakin dengan apa yang ditulisnya ini, tetapi untuk lebih menambah kadar keyakinannya penulis harus ke Amsterdam untuk membuktikan semua kebenaran yang ada dalam tulisan ini.
    Maka penulis menghadap Tuhan untuk mewujudkannya dan mohon doanya ya pembaca!!

    embrace Netherlands is embrace my passion :)


    Sumber Inspirasi:
    http://www.virgin-vacations.com/11-most-bike-friendly-cities.aspx
    http://www.ski-epic.com/amsterdam_bicycles/

    http://www.ski-epic.com/