• aida: Catatan Perjalaanan Backpacker Gadungan Jilid II

    Selasa, 18 Januari 2011

    Catatan Perjalaanan Backpacker Gadungan Jilid II


    >>Wine dan Ka’bah
    Sepanjang perjalanan menikmati setip sudut pulau ini, banyak fenomena yang bisa saya abadikan melalui photography memory saya, mulai dari sosiograafi penduduk trawangan yang secara opini sederhana saya menyebutnya seperti fenomena wine dan ka’bah. Fenomena yang saya jarang menemuinya. Hampir seluruh penduduk Trawangan menggantungkaan dirinya pada sektor pariwisata, mulai dari elemen terkecil sampai konglomerasi pariwisata. Mulai dari penjual sate sampai penjual wine dan ganja (yang ganja konon katanya sih).
    Dibelakang, dimasjid Kampung Nurul hidayah terdengar suara anak-anak kecil menghafal Juzz Amma, kurang lebih 200 meter didepan terdengar musik reggae menemani para tamu pembawa devisa negara, menghabiskan berbotol-botol wine atau minuman keras merk lokal semacam bir bintang dengan pacar atau temaan non muhrimnya, yang saya herankan selama saya menyusuri jalan-jalan protokol, katakan ekstrimnya red light nya trawangan, saya tidak menemukan satu anak kecilpun berseliweran di jam primetime. Padahal secara jaraknya cuma kurang lebih 200 meter dari pusat peradaban muslim di Traawangan. Sebuah fenomena paradoks yang unik.

    >>Bugis= Madura
    Suku Pribumi Trawangan bukanlah Sasak sebagai suku asli Lombok (NTB) tetapi Bugis. Sebuah suku yang kalau pelajaran geografi Indonesia mengatakan berasal dari sebuah pulau bernama Sulawesi. Suku Bugis terkenal karena keberaniannya dan keuletaannya sebagi saudagar, terlepas dari stereotype negatifnya. Maka tidak mengherankan kalau mendengar cerita dari penduduk lokal. Dulu kala Trawangan masih belum berpenghuni, suku Sasak tidak mau menempati, maka suku Bugislah yang membuka jalan, dan tidak mengherankan kalau sekarang mereka menjadi tuan-tuan tanah yang plangnya saja pakai bahasa inggiris “Land for sale” bukan “Tanah dijual tanpa perantara” seperti di Jawa, karena mereka tau orang Pribumi tidak akan sanggup membeli resort yang saya sendiri cuma bisa mengira-ngira harga permeternya. Tapi saya senang jika mendengar pemilik resort-resort mewah itu adalah suku Bugis milik Abah Haji X yang konco pleknya JK daripada saya mendengar bahwa pemiliknya adalah MR atau Mrs X dari Belanda, New Zealand, Swiss atau Negara lain. Bagaimanapun kita harus menjadi tuan di negeri sendiri. Meskipun bisa jadi Abah Haji ke Mekahnya mungkin karena Wine, Heineken atau topi miring… Wa’allahu’alam bissowab
    Sekarang trawangan setidaknyaa sebagai sebuah pulau Internasional, yang multikultur dengan penghuni tetapnya terdiri dari Suku Bugis, Sasak (Lombok), Bali dan Suku Jawa. Dengan penduduk tidak tetapnya yaitu tamu asing lintas benua. Mereka hidup rukun, sambil bersimbiosis mutualisme, karena inilah Trawangan terkenal keamanannya. Selain mereka menjual eksotisme alam, yang tak kalah penting mereka juga menjual keamanaan, sebuah produk mutlak bagi bisnis pariwisata. Tapi tidak tau lagi kalau saudara kembar suku Bugis yaitu suku Madura juga ikut menjadi penghuni tetap. Saya tidak menemui suku ini selama saya tinggal dua hari di Trawangan, Konon katanya memang tidak ada. Secara fisik suku Madura memang tidak ada, tetapi secara non fisik mereka ada, saya melihat ada beberapa kesamaan antara suku Madura dengan Bugis. Selain fisik, juga semangat merantau, semangat bekerja, cara berpakaian, kesederhanaan yang khas, meskipun berbagai pengaruh barat sudah masuk dan duit bertumpuk-tumpuk tapi mereka tetap sederhana dan apa adanya. Dan satu lagi kurang pandai merawat fasilitas umum maupun pribadi ^^ *sekedar opini pliss jangan tersinggung yang termasuk dua suku ini…..

    >>Eating, Snorkeling, Diving dan Sun bathing…

    Jangan terlalu risau kalau masalah makanan, di Trawangan relatif terjamin kehalalannya dibandingkaan Bali. Mayoritas penduduk Trawangan muslim, jadi mereka masih mematuhi norma-norma agama dalam hal makanan. Menurut saya yang spesial dan menjadi favorit penduduk pribumi adalah sayur nangka, heran kalau siang kebanyakan sajian wajib warteg-warteg disana adalah sayur nangka. Dengan menu sayur nangka, telur bumbu bali, dadar jagung, krupuk dan es teh botol “merk apapun makananya minumnya teh..” untuk 2 porsi kita hanya mengeluarkan kocek 26 ribu. Sedikit mahal dibandingkan Surabaya, tapi tak mengapa daripada masak mie rebus pakai trangia *pikir backpacker gadungaan seperti kami ^^. Kalau malam hari banyak pilihaan mulai dari sate, mie ayam, nasi goreng, tempe penyet, ayam panggang semua ada dan tentunya disuka para tamu bule, anda bisa menemui makanaan-makanan nusantara sedap berselera ini di pasar malam central yang letaknya pas didepan dermaga. Harganya masih masuk akal, untuk nasi goreng masih diharga 10 ribu.
    Kalau malas bersepedaa keliling pulau pada sore hari, saat yang tepat untuk snorkeling, dengan modal 35ribu untuk low season anda bisa meminjam peralatan snorkeling. Kalau takut berenang saat pagi disaat air laut surut anda bisa menikmaati biota laut seperti bintang laut (bentuknyaa menyerupai, tapi saya tidak tau nama tepatnya), keluarga siput laut, ikan-ikan kecil, kerang laut dsb. Penjaja persewaan snorkeling ini juga seperti bike rental ada dimana-mana sepanjang jalan protokol. Anda tinggal memilih spot snorkeling sesuai keinginan anda, mulai dari yang rame sampai yang sepi.
    Diving atau menyelam, olahraga mahal yang butuh keahlian khusus. Saya sempet tanya tarif diving di villa ombak dive sekitar 700rb/pax. Kenapa masih mahal, selain karena perlengkapannya yang sedikit rumit dibandingkan snorkeling, diving juga takes times, butuh latihan dasar teknik menyelam dikolam renang sebelum bener-bener menyelam dilaut lepas, ditambah lagi anda harus menyewa boat untuk sampai di spot terbaik taman laut, tentunya melalui pengawasan dari instruktur. Untuk diving ini saya belum mendapat tawaran GRATIS...hehehehe masih sebatas melihat dan mengamaati aktivitas ini.
    Matahaari yang sangat terik mencapi 34 derajat sangat ampuh untuk membuat kulit berubah warna, tak mengherankan kalau sepanjang pantai, mata anda akan disuguhi para pemilik kulit merah dan putih mandi matahari, untuk aktivitas satu ini saya yakin jarang orang Indonesia yang mau melakukannya.
    Telur Asin dan Terasi Abah Hasan atau Senaru yang membosankan?!
    Mendengar kata Senaru (kaki gunung Rinjani) yang terbayang diotakku adalah keindahan Ranu Pani, dua hal yang sebenarnya tidak patut untuk diperbandingkan. Siang itu hari kedua di Gili Trawangan, kami memutuskan untuk melepas semua atribut Backbacker gadungan kami. Dengan ditemani Pak Jalal sebagai driver, kami berpura-pura menjadi turis lokal yang punya duit. Menyewa APV dengan tariff 350 ribu untuk setengah hari dengan rute




    TIPS kedua Backpcker gadungan

    Sampai di padang Bai, ada 2 alterntif yang bisa anda pilih yaitu kapal feri menuju lembar, yang membutuhkan waktu 4-5 jam untuk sampaai di lembar Mataram. Tarifnya per pax lebih murah yaitu sekitar 30rb. Bagi yang memiliki waktu dan pingin mengeksplor penduduk lokal sangat cocok menggunakaan feri ini. Feri ini beropersi 24 jam, jadi jangan kuatir kalau ketinggalan feri. Alternaatif berikutnya adalah fast boat yang langsung ke trawangan, untuk yang tidak memiliki waktu banyak sangat cocok menggunkan fast boat ini. Ada banyaak fast boaat disana, rata-rata tarifnya 400-600rb per pax sekali jalan. Jarak tempuh yang dibutuhkaan hanya 1,5 jam dan langsung menuju trawngan. Harga yang mahal baagi backpacker, tapi sangat nyaman dan senssional ^^

    Kalau memang berniat menginap di Padang bai, ada banyaak penginapaan disanaa rata-rataa tarifnya 100rban, kalau mau masuk-masuk gang yang didepan dermaga lebih banyak pilihan. Untuk makanan juga mudah, ada serba penyetan didepaan hotel Madya, yang jualan orang Lamongan, atau nasi goreng bakso yang jualan orang Surabaaya.
    Ketika meminjam sepeda di Trawangan jangan meminjam di hotel atau resort mewah, biasanya mereka tidak bisa ditawar. Padahal dari segi kualitas dan pilihan sepeda juga biasa saja. Mendingan masuk ke perkampungan, biasanya mereka bisa ditawar.
    Penginapan ditrawangan juga banyak pilihaan, kalau di sepanjang redlight atau jalan protokol memang mahaal dan berbentuk resort-resort dengaan fasilitas hotel berbintang. Kalau backpackeran mending masuk gang-gang kecil diperkampungaan. kalau punya kenalan bisa menumpang, atau lebih murah laagi bisa bikin camp didepan pantai, didepan gardu PLN kayaaknya sepi tuh…

    Tidak banyak yang bisa dilaakukaan pd malm haari, kalau and sukaa nongkrong dengan bule, ada banyak pilihan bule dan tempat nongkrong, mulai dari eropa sampaai amerika latin, mulai dari muda sampai opa. Atau kalau males bisa bersepeda saja di jalan protokol disitu anda akan menemukan kehidupaan malam trawangan, mulai dari bioskop mini yang penontonnya bisa tidu-tiduran. Restoran seafood, atau mau nongkrong di rental buku, yang koleksinya sebagian besar adalah bahasa Inggris.
    Saat sunrise adalah saat terbaik menikmati pemandangan dan sepinya trawangan. Selain bule-bule masih tidur trawangan juga maasih belum terlalu panas. Menyusuri pantai dengan berjalan kaki, atu sekedar leyeh-leyeh dikursi malasnya hotel berbintaang adalah pilihan menarik sambil mencari tamu bule yang sekiranyaa jomblo dan bisa diajak berdiskusi…hehehe seperti Benoai…
    Tetap selalu berpikiraan postif, tunjukkan sikap ramah anda…ingat anda adalah tamu jadi anda yang harus menghormati tuan rumah kalau memang mau dihormaati..
    Selamat berpetualang dan mensyukuri keindahan ciptanNya….^^

    Gang kecil pojok kamarku 14 Nopember 2010….

    0 Komentar:

    Posting Komentar

    Berlangganan Posting Komentar [Atom]

    << Beranda